Nasihat Al-Imam Ibnu 'Abdil 'Iz tentang hati..

Al-Imam Ibnu 'Abdil 'Iz berkata dalam bukunya, "Syarh Al-'Aqidah Ath-Thahawiyyah":

Hati itu ada kalanya hidup, ada kalanya mati. Ada kalanya sakit, ada kalanya sehat. Semua kondisi itu ketika dikaitkan dengan hati, lebih penting daripada ketika berkaitan dengan tubuh.
Allah ta'ala berfirman,

أَوَ مَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُون
— الأنعام:١٢٢
"Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya) kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan."(Q.S.Al-An'am:122)

..maksudnya adalah,"Mati karena kekufuran, lalu kami hidupkan dengan keimanan.".

Hati yang hidup dan sehat itu, jika dihadapkan dengan kebatilan dan kejelekan, akan dengan sendirinya lari dari hal-hal itu, juga membencinya dan tidak meliriknya sedikitpun. Berbeda halnya dengan hati yang telah mati. Hati itu tidak dapat membedakan baik dan buruk. Seperti yang dikatakan oleh 'Abdullah bin Mas'ud,

"Celakalah orang yang dengan hatinya, tidak dapat mengenali mana yang ma'ruf dan mana yang munkar."
— 'Abdullah bin Mas'ud

Hati yang terjangkit penyakit syahwat pun seperti itu. Karena kondisinya yang lemah, dia mudah mengikuti keburukan yang ada dihadapannya, tergantung kuat lemahnya penyakit itu.

Ada dua macam penyakit hati, yaitu penyakit syahwat dan syubhat. Yang paling buruk dari keduanya adalah penyakit syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang berkaitan dengan masalah qadar (takdir).

Ada kalanya hati itu sakit dan terus bertambah parah penyakitnya tanpa disadari oleh pemiliknya. Penyebabnya adalah ketidaktahuan dia tentang hati yang sehat dan sebab-sebab sehatnya hati itu. Bahkan terkadang, hati itu mati, namun pemiliknya tidak sadar bahwa hatinya telah mati. Jika itu yang terjadi, hatinya tidak akan merasa sakit jika dimasuki oleh hal yang buruk. Dia juga tidak akan khawatir oleh kebodohannya akan kebenaran, dan oleh keyakinannya yang salah. Karena hati itu jika ada kehidupan di dalamnya, pasti akan merasa sakit ketika dimasuki keburukan, merasa sakit oleh ketidaktahuannya akan kebenaran, seperti dalam sebuah syair,

"..tidaklah sebuah luka itu mampu menyakiti jasad yang telah mati"

Ada kalanya pula seseorang sadar akan penyakit hatinya. Namun, dirinya tidak mampu menahan dan bersabar dari pahitnya obat hati. Akhirnya, ia lebih memilih tetap dalam kesakitan daripada perihnya obat. Sebab obat hati itu ada dalam melawan hawa nafsu. Itulah hal yang paling berat bagi jiwa seseorang, padahal tidak ada hal yang lebih manfaat baginya selain itu.

Terkadang seseorang mampu menguasai dirinya untuk bersabar. Namun, kemudian tekadnya itu memudar dan tidak dapat meneruskannya karena ilmu, pemahaman, dan kesabaran yang lemah. Seperti orang yang akan melewati sebuah jalan yang menakutkan, yang di ujungnya adalah keamanan. Dia tahu bahwa jika dia mampu bersabar dalam melewati jalan itu, akan hilang ketakutannya dan digantikan oleh rasa aman. Yang dia butuhkan adalah kesabaran dan keyakinan yang kuat untuk mencapai tujuannya itu. Maka saat kesabaran dan keyakinan itu melemah, dia tidak akan mampu menahan derita jalan itu, dan akhirnya kembali ke awal. Apalagi jika tidak ada yang mendampingi ia dalam menghadapi hal itu, lalu merasa minder dengan kesendiriannya, hingga akhirnya, ia berkata, "Ke mana orang-orang menuju, maka ke situlah aku mengikuti mereka.". Itulah kondisi manusia kebanyakan, dan itulah yang membinasakan mereka. Namun, orang yang bijak dan tulus tidak akan merasa minder karena sedikit atau tiadanya teman, saat dia merasakan pertemanan yang paling utama, yaitu..

مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقًا
—النساء:٦٩
"..bersama orang-orang yang telah Allah turunkan nikmat atas mereka, dari golongan para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baiknya teman"(Q.S.An-Nisaa':69)

Sungguh bagus sekali apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad 'Abdurrahman bin Ismail —yang terkenal dengan nama Abu Syamah— dalam buku "Al-Hawadits wal Bida'" (Perkara-perkara Baru dan Bid'ah),

"Setiap ada perintah wajibnya tetap bersama jama'ah, maka yang dimaksud adalah tetap diatas kebenaran dan mengikutinya, walau yang berpegang dengannya sedikit dan yang menyelesihinya banyak. Sebab, kebenaran itu ialah yang ada pada jama'ah pertama, yang ada pada masa Nabi SAW dan para sahabatnya, dan kita tidak peduli dengan banyaknya ahlul bathil setelah mereka"
—Abu Syamah 'Abdurrahman bin Ismail

Lalu, diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Bashriy —rahimahullah— bahwa ia berkata,

"Sunnah itu —demi yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia— ada di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang yang meremehkan. Maka bersabarlah kalian untuk tetap di atasnya —semoga Allah merahmati kalian—. Sesungguhnya ahlus sunnah itu adalah kelompok yang paling sedikit jumlahnya di waktu lampau, juga paling sedikit jumlahnya nantinya. Mereka adalah yang tidak mengikuti orang-orang lalai dalam kelalaian mereka, juga ahlul bid'ah dalam bid'ah-bid'ah mereka. Mereka bersabar di atas sunnah sampai merekea bertemu Rabb mereka. Maka jadilah kalian seperti itu"
— Al-Hasan Al-Barshriy

Tanda sakitnya hati itu ialah kesukaannya terhadap "makanan" yang buruk dibanding "makanan" yang menyehatkan, terhadap "obat" yang buruk dibanding "obat" yang bermanfaat.

Jadi, ada 4 hal yang kita bicarakan saat ini, yaitu "makanan" yang bermanfaat, "obat" yang menyembuhkan, "makanan" yang buruk, dan "obat" yang mematikan. Hati yang sehat pasti mengutamakan yang bermanfaat lagi menyembuhkan, dibanding sesuatu yang berbahaya dan menyebabkan sakit. Adapun hati yang sakit kebalikannya.

"Makanan" yang paling bermanfaat itu adalah "makanan" iman. Sedang obat yang paling manfaat itu adalah "obat" Al-Qur'an. Dalam kedua hal itu, ada "makanan" dan "obat". Siapa yang mencari kesembuhan di selain Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah sebodoh-bodohnya orang bodoh, sesesat-sesatnya orang yang sesat. Allah berfirman,

قلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ
— فصلت:٤٤
"..Katakanlah: "Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu'min. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh."(Q.S.Fushshilat:44)

Allah juga berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا
— الأسراء:٨٢
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian."(Q.S.Al-Israa':82)

Kata "dari" itu di dalam Al-Qur'an, menjelaskan keseluruhan bukan sebagian.
Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِين — يونس:٥٧
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman."(Q.S.Yunus:57)

Al-Qur'an adalah obat yang sempurna, mengandung obat jasmani dan ruhani, obat dunia dan akhirat. Namun, tidak setiap orang mampu berobat dengannya. Jika seseorang yang sakit berobat dengan Al-Qura'an dengan baik, dan meletakkannya di atas penyakitnya dengan kejujuran, iman, kepasrahan yang sempurna, keyakinan yang kuat, serta menunaikan syarat-syaratnya, tidak akan mungkin penyakit hati itu bisa melawan.

Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu bisa melawan firman Rabb bumi dan langit? Yang seandainya diturunkan kepada gunung, pasti terguncang, atau jika diturunkan pada bumi, pasti terbelah?! Maka tak ada satu penyakit pun, baik penyakit hati atau jasmani, kecuali telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an obatnya, sebabnya, dan cara pencegahannya, bagi mereka yang dikarunia oleh Allah pemahaman terhadap kitab-Nya.

Diterjemahkan secara bebas dari buku Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal 275-276.

Juru Dakwah dan Hikmah Dalam Berdakwah

Kata hikmah dalam berdakwah sering kali dimaknai dengan dakwah yang lemah lembut. Tetapi sungguh tidak demikian sepenuhnya. Kata hikmah dalam bahasa arab sendiri tidaklah hanya berarti lemah lembut, hikmah mengandung arti yang sangat luas. Dalam bahasa Arab kata hikmah mengandung banyak makna, diantaranya ia bermakna Al-Quran, As-Sunnah, keadilan, kenabian, ilmu, kelembutan, dan lain-lain.
Dan dalam terminologi syariah, hikmah dimaknai sebagai: ketepatan dalam berkata, bertindak dan berkeyakinan, serta menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara sempurna dan sebaik-baiknya.
Dakwah adalah tugas paling mulia, tugas mengemban risalah yang diwariskan oleh Baginda Nabi shalallahu alaihi wassalam. Ia mulia karena dakwah adalah mengajak orang lain menuju Allah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?.” (QS: Fushilat: 33)
Dengan demikian, juru dakwah (da’i) adalah orang mulia, sebab ia mengemban tugas yang sangat mulia, risalah kebenaran, mengajak manusia meniti jalan kebenaran dan kebahagian agar sampai kepada Allah Subhanahu wata’ala Dzat yang Maha Benar. Bukankah tujuan setiap orang adalah sampai kepada kebenaran?
Kepada orang-orang yang memilih jalan dakwah, Allah mengajarkan agar dalam mengajak manusia menuju Allah Yang Penyayang itu dilakukan dengan cara yang tepat dan bijaksana.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: An-Nahl: 125)


Maka, hikmah dalam berdakwah adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap da’i dalam menyeru manusia menuju jalan Allah. Dalam artian dakwah itu harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tepat. Baik dalam perkataan maupun perbuatan, haruslah berdasarkan ilmu yang berpayung Al-Quran dan As-Sunah, haruslah memahami keadaan mad’u (orang yang diajak) dan harus pula mengerti realita dan lingkungan yang meliputinya.

Jalan dakwah adalah jalan panjang, berliku dan terjal. Oleh karenanya, setiap da’i harus memiliki bekal yang memadai. Bekal itu adalah ilmu dan kebijaksanaan. Seorang da’i haruslah berilmu, dalam arti yang luas ia harus mengetahui dan memahami materi dakwah serta cara menyampaikannya. Ia juga mesti memahami benar keadaan orang-orang yang diajak dan lingkungan yang meliputinya. Keharusan berbekal ilmu itu tersirat dalam ayat berikut ini:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS: Yusuf:108)


Seorang da’i yang bijaksana adalah da’i yang dalam dakwahnya selalu berjalan di atas jalan hikmah, dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah serta meneladai para sahabat Nabi salaful ummah. Ia adalah da’i yang menempatkan segala permasalahan dakwah sesuai denga tempatnya, secara proporsional.

Seorang da’i juga harus dapat hidup bersama masyarakatnya, menjadi bagian dari mereka, serta bisa merasakan sakit dan derita mereka, juga bersama mereka memikul tanggungjawab sosial di lingkungannya. Rasul r bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَأْلَفُ وَلَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَأْلَفُ وَلَا يَؤْلَفُ
“Sungguh seorang mukmin itu bersahabat, tiada kebaikan pada orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati.” ( Al-Mustadarak, Kitabul Iman, 1/73 no 59)


Maka tak bijak rasanya, bila seorang dai selalu mengesankan diri sebagai orang yang eksklusif dalam kehidupan besama masyarakatnya. Ia harus berbaur, tetapai jangan lebur. Ia harus mewarnai, tetapi jangan terwarnai. Bahkan ia harus menjadi pelita yang menerangi, dan pembimbing yang menuntun.

Dakwah adalah sebuah dunia yang sungguh unik dan terkadang rumit. Ia selalu terkait dengan keadaan-keadaan yang meliputinya, baik keadaan mad’uw, wilayah, atau tradisi-tradisi yang berjalan di situ. Dan dalam dunia dakwah, setiap tempat memiliki warnanya sendiri, memiliki lika-likunya sendiri. Di sinilah dibutuhkan kejelian dan kebijaksanaan seorang da’i dalam menentukan langkah-langkah dakwahnya. Ia mesti paham kapan ia menggunakan metode lemah lembut dalam berdakwah. Ia harus juga mengerti kapan jalan tegas dan keras harus ditempuh. Bahkan ia pun tahu kapan pedang harus dihunus.
Namun demikian, Kita semua wajib tahu bahwa prinsip utama dalam berdakwah adalah lemah lembut. Allah memaklumatkan hal itu dalam firman-Nya yang mulia, yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. “ (QS: Ali Imran: 159)
Tetapi dakwah tidaklah mesti ditempuh dengan cara lemah lembut selalu, tidak juga denga cara keras melulu. Setiap uslub (metode) memiliki tempat dan waktunya sendiri, dan seorang da’i harus pandai menerapkan uslub yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Selain harus tetap berada dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah, dakwah juga mesti dilakukan dengan penuh kejelian. Seorang da’i yang bijak bukanlah orang hanya bisa menentukan antara yang baik dan buruk. Tetapi dalam masa-masa sulit, seorang da’i yang bijaksana adalah da’i yang bisa menentukan pilihan terbaik dari dua hal yang buruk yang sedang dihadapi. Sebab, ia melihat masalah-masalah dakwah dengan pandangan yang jauh, dengan sudut pandang ilmu dan kebijaksanan. Itulah hikmah dalam berdakwah.
Seseorang yang telah memilih dakwah sebagai jalan hidupnya, seyogyanya menanamkan dalam dirinya bahwa keinginannya bukanlah sekadar menyampaikan risalah, tetapi mesti juga berusaha memahamkannya kepada manusia. Ia mesti paham prioritas dalam berdakwah dan mengerti betul kebutuhan rohani masyarakatnya. Kemudian menyampaikan risalah kebenaran ini secara bertahap dan perlahan dengan tetap memperhatikan daya cerna dan tingkat kemampuan orang yang diajaknya.
Kehidupan akan menyuguhi kita berbagai peristiwa yang terkadang rumit dalam masalah dakwah. Tetapi seorang da’i yang bijaksana adalah orang yang memiliki kesabaran yang luas membentang di hatinya. Ia tidak patah arang di jalan dakwah. Sebab, ia telah menitipkan hidupnya di jalan-Nya. Istiqomah adalah keharusan bagi siapa saja yang menitipkan hidupnya di jalan Allah. Dia bukanlah orang yang terburu-buru ingin segera menuai hasil dari jerih payah yang telah dilakukannya. Ia paham bahwa dalam menemukan kebenaran, setiap orang mempunyai proses yang berbeda. Dan dia akan menghargai proses itu. Menghargai proses dakwahnya juga proses setiap orang dalam memahami dakwah yang dibawa.
Sekarang kita berada dalam suatu zaman yang nilai-nilai Islam terasa asing dan aneh bagi sebagian masyarakat, bahkan oleh sebagian kaum muslimin sendiri. Dan itu memang sunatullah yang sedang berlaku. Baginda Rasul r bersabda:
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam itu bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti semula, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” ( HR. Muslim 1/90 no. 389)


Seberapa pun asingnya risalah kebenaran yang dibawa, seorang da’i haruslah berbaur dengan masyarakatnya, tetapi jangan lebur. Pengalaman mengajarkan bahwa kebatilan pun awalnya asing bagi sebuah masyarakat, tetapi karena kebatilan itu selalu dipropagandakan, maka semakin lama masyarakat pun semakin akrab dengan kebatilan itu. Bukankah kebenaran itu lebih dulu ada? Bukankah kebenaran itu lebih tua usianya daripada gunung-gunung dan samudra itu? Maka kebenaran lebih berhak untuk diserukan agar ia membumi.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat membutuhkan keteladanan dalam mengejawantahkan nilai-nilai Islam pada kehidupan sehari-hari. Maka setiap da’i haruslah menjadi suri tauladan bagi mereka. Tanpa keteladanan, masyarakat akan menganggap bahwa Islam hanyalah sekumpulan teori indah yang tidak ada prakteknya. Dan Alhamdulillah, Allah telah mengirim Rasulullah sebagai teladan nyata, yang menerangkan bahwa Islam itu sangat indah dalam teori dan prakteknya.
Bisa menjadi da’i yang bijaksana adalah anugerah yang sangat besar, tapi itu juga tidak mudah. Semuanya membutuhkan proses pembelajaran dan pengalaman-pengalaman. Maka, setiap orang mestilah terus menuntut ilmu agama dan pandai mengarifi semua peristiwa-peristiwa yang ditemui di lingkungannya.
“Allah menganugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). “(QS; Al-Baqarah; 269)


Semoga kita semua bisa meniti jalan hikmah itu dalam hidup dan dakwah kita. Wallahu a’lam. [Tim Redaksi]

Referensi:“Mafhumul Hikmah fid Da’wah Ilallah” oleh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthany, “Al-Hikmah fid Da’wah Ilallah” oleh DR. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid, “Al-Mustadrak” oleh Al-Imam Al-Hakim.

Bismillah

Blog ini sedang dalam tahap pengerjaan. Semoga Allah melancarkan jalannya blog ini.Mohon bersabar!